- Back to Home »
- Malu Dalam Islam
Posted by : Hakku
8 Sep 2013
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Hallo " Ya Ahlil Baiti ? "
Ini dia Posting yang ke-4 dengan Tema : " Malu Dalam Islam "
" Malu Dalam Islam "
I . Pengertian Rasa
Malu dalam Islam
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan
menjauhi segala apa yang dibenci.[Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ'
(hal. 53)]
Imam
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan
ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi
makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi
sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi
oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup,
pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid
rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran
sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah
sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap
menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul
Bâri (X/522) tentang definisi malu.]
Kesimpulan
definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong
seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela,
sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta
mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm
wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).]
II. Keutamaan Rasa
Malu
1).
Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak
pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari
sifat-sifat yang hina.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu
itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (Muttafaq
‘alaihi)
Dalam
riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu
itu kebaikan seluruhnya.”
[Shahîh:
HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin
Husain]
Malu
adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.
2).
Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau
enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha
illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari
jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
[Shahîh:
HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no.
4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû
Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).]
3).
Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan
ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia
menutup diri.”
[Shahîh:
HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la
Radhiyallahu 'anhu]
4).
Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah
aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa
malu kepadanya.” [Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)]
5).
Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya
setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” [Shahîh: HR.Ibnu
Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari
Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]
6).
Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
Ada
salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu yang mengecam saudaranya dalam
masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan
dia, karena malu termasuk iman.”
[Shahîh:
HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no.
4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan
Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.]
Abu
‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari
perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman
yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]
7).
Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang
lainnya.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu
dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang
lainnya.”
[Shahîh:
HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/223),
al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû Nu’aim dalam Hilyatul
Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr
(no. 3200).]
8).
Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu
adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor
adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di
Neraka.”[Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân (no.
1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3199).]
III. Malu adalah
Warisan Para Nabi Terdahulu
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah
Azza wa Jalla berfirman :
"Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu
(untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang
benar" [Al-Ahzâb/ 33:53]
Abu
Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di
kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]
Imam
al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang
dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya,
bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu
terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu
sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan
tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang
muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[Fathul Bâri (X/522).]
IV. Malu Itu Ada Dua
Jenis
1).
Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu
seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla
kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu
tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117)
dan Muslim (no. 37)]
Malu
seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela
serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk
iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama
empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’
(takwa).”[Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).]
2).
Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu
malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla )
dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya
terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja
yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang
dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang
tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan
usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam
perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk
yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan
kepada Allah Azza wa Jalla.[Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181)]
Dahulu,
orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat
untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara
contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius
ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan
berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
Artinya
:“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku
khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong
kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).]
Rasa
malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.
V . Konsikuensi Malu
Menurut Syari’at Islam
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa
Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah k dengan
sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu
ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan
akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang
mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa
Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/
387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat
Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).]
A . Malu Yang Tercela
Qâdhi
‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan
menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan
dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu
yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya
menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah
dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan
hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak
kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan
ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]
Di
antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu
mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang
menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid
bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari
nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat
malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang
sangat besar.
Tentang
tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Artinya
: “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar
shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab
al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil
‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]
Ummul
Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita
Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Artinya
: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka
untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri
dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]
Para
wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi
mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu
Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu
terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi
(berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia
melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).]
B . Wanita Muslimah Dan Rasa Malu
Wanita
Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin
bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian
fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika
Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak
dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan
malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan
sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash:
25]
Dia
datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya
seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak
seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu
tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan
jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari
fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan
fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya,
tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena
kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia
berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Adapun
wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran
adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka
aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan
yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik
oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada
Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya
apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di
dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.[Lihat al-Wâfi fî
Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153)]
Setiap
suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan
anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang
merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek,
berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang
bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. Para suami dan orang tua wajib mendidik
anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan
kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada
padanya pun ikut hilang.
C . Buah Dari Rasa Malu
Buah
dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki
rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan
dari buahnya pula adalah bersifat wafa' (setia/menepati janji).
Imam
Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal
untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang
didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku
terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah
selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak
mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik
dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan
orang lain.
Bila
rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku
jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan
kebaikannya meredup. [Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).]
Beliau
melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka
ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan
menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang
pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan
dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa
yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya;
siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi
dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang
tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki
sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan.
Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa
saja yang disukainya.” [Ibid (hal. 55).]